Makna
Akhlaq
Oleh:
Dr Hamid Fahmy Zarkasyi
“It’s
better to be moralist rather than religious”. Lebih baik moralis daripada
religious. Itulah salah satu cara orang liberal-sekuler-humanis membunuh agama.
Di Barat sana agama memang pernah menjadi sumber fundamentalisme dan kekerasan.
Disini, di negeri-negeri Islam tidak. Tapi untuk bisa diberi cap yang sama,
agama direkayasa agar melakukan kekerasan. Ini misinya.
Caranya
agama dihancurkan dari konsep dasarnya. Salah satunya adalah makna akhlaq. Yang
sekuler berupaya mensekulerkan maknanya. Maka ber-akhlaq itu sama dengan
bermoral. Yang liberal dan humanis berusaha menghapus konsepnya. Bagi mereka
“Muslim tidak perlu ber-akhlaq, berbuat baik pada sesama itu lebih mulia”.
Masalahnya apa bedanya moral dan akhlaq serta apa pula makna karakter dan etika
itu.
Akhlaq
adalah kata jama’ dari kata khulq. Akar katanya serumpun dengan khalaqa
(menciptakan). Artinya adalah sifat jiwa yang melekat (malakah) dalam diri
seseorang sesuai dengan asal mula diciptakannya (ahsanu taqwim).
Alasannya
jelas, jiwa manusia itu diciptakan Allah dengan fitrah-Nya (fitratallah alliti
fatarannas alaiha). Maka ber-akhlaq adalah berpikir, berkehendak dan
berperilaku sesuai dengan fitrah (nurani) nya.
Lalu
mengapa manusia melawan fitrahnya? Karena kerja orang tua. Orang tua menanam
benih kejahatan pada anaknya. Jika ia tanam benih kebaikan, maka sempurnakan
fitrah anaknya.
Hadis
Nabi jelas, orang tua berkuasa membuat anaknya Muslim atau kafir. Agar fitrah
manusia itu sempurna Allah menurunkan fitrah yang lain yaitu al-Qur’an. Ibn
Taymiyyah menyebutnya fitrah munazzalah.
Dengan al-Qur’an fitrah manusia akan berkembang sempurna.
Fitrah
manusia yang berkembang mengikuti al-Qur’an adalah Nabi Muhammad. Karena itulah
maka pribadinya menjadi teladan umatnya. Jiwanya memancarkan cahaya.
Perilakunya menjadi hukum dan tata etika. Nafasnya adalah dzikir yang berirama.
Kalamnya meluncur penuh hikmah bijaksana.
Itulah
makna kesimpulan Aisyah bahwa akhlaq Nabi adalah al-Qur’an (Khuluquhu al-Qur’an). Sebab jiwa Nabi tidak saja sesuai tapi
tenggelam dalam samudera kebaikan dan kesempurnaan al-Qur’an.
Bagaimana
al-Qur’an bisa menjadi akhlaq, bisa dijelaskan. Fakhruddin al-Razi. Misalnya,
menulis buku Kitab al-Nafs wa al-Ruh, Fi ‘ilm al-Akhlaq. Didalamnya terdapat 32
pasal tentang akhlaq dan penyembuhan penyakitnya.
Jiwa
manusia (nafs), misalnya, terbagi menjadi tiga tingkatan. Yang pertama adalah
mereka yang tenggelam dengan Nur Ilahi disebut al-Muqarrabun. Kedua adalah
mereka yang berorientasi ke langit dan terkadang ke bumi untuk urusan dunianya
yang dinamakan al-Muqtasidun atau golongan kanan (ashab al-yamin).
Terakhir,
dan terendah adalah yang tenggelam dalam cengkeraman hawa nafsu dan kenikmatan
jasmani, disebut al-Zalimun atau golongan kiri (ashab al-syimal). Ilmu untuk
mencapai yang pertama adalah olah batin (riyadah ruhaniyah). Ilmu untuk
mencapai yang kedua adalah ilmu akhlaq. Makna akhlaq dilacak dari sumber
perilaku manusia yang berupa aql, ruh, nafs,
qalb dan cara kerjanya.
Berbeda
dari akhlaq, istilah “moral” dalam Oxford English Dictionary dan kamus-kamus
lain diartikan sebagai perilaku baik-buruk manusia. Prinsip-prinsipnya disebut
etika atau filsafat moral. Ketika moral
menjadi semangat atau sikap masyarakat ia disebut “etos”. Itu semua, termasuk
baik buruk yang pastinya bersumber dari kesepakatan manusia (human convention).
Bahkan
apa yang disebut “hukum moral” atau dharma dalam agama Hindu juga berasal dari
kebiasaan sosial. Maknanya moral dan etika menjadi longgar. Jadi bermoral
artinya berperilaku sesuai dengan aturan masyarakat, yang tidak selalu bersifat
ilahi dan religious.
Orang
ber-akhlaq dalam arti yang benar pasti bermoral, tapi tidak semua yang bermoral
itu ber-akhlaq. Pemimpin yang tidak zalim, pembela kaum lemah, tidak korup dan
sebagainya. bisa dianggap bermoral. Tapi ia tidak berakhlaq jika ia seorang
lesbi/homo, pezina, korup, “peminum”, penjudi dan sebagainya. Saudagar kaya
raya yang dermawan, zakatnya milyaran, pekerjanya ribuan, peran sosialnya
lumayan, bisa dianggap bermoral tinggi. Tapi jika ia adalah pengusaha narkoba
atau prostitusi, atau rentenir ia tidak ber-akhlaq.
Kini
akhlaq juga diganti dengan istilah “karakter” (Yunani: kharakter). Character
diartikan sebagai ciri yang membedakan seseorang karena kekuatan moral atau
reputasi. Tapi character juga dimaknai sebagai sifat yang dimainkan seorang
aktor dalam sebuah sandiwara, drama atau lakonan.
Berkarakter
baik bisa diartikan sebagai ber”peran” baik. Ia bukan sifat yang melekat erat
dalam identitas diri. Bukan dorongan jiwa tapi dorongan masyarakat. Mungkin
nampak sangat manusiawi, tapi tidak yang mesti berdimensi ilahi.
Maka
berkarakter juga tidak mesti berakhlaq. Di masa lalu, misalnya, terdapat
seorang gubernur yang dianggap berkarakter tinggi. Ia tegas, berdisiplin
tinggi, konsisten, berwibawa dan berwawasan luas. Tapi ia membolehkan perjudian
dan pelacuran menjadi sumber APBD. Siapapun menentangnya akan dicemooh. Ia
berkarakter tapi tidak ber-akhlaq. Begitulah Muslim bisa bermoral dan berkarakter,
tapi tidak mesti ber-akhlaq.
Tapi
jika makna ber-akhlaq hanya dibatasi secara sempit maka ia akan sesempit makna
moral. Ber-akhlaq yang sempit hanya berpedoman halal-haram atau wajib-sunnah.
Hubungannya dengan Tuhan tidak disempurnakan dengan hubungan antar manusia
(mu’amalah ma’annas).
Ibadahnya
sempurna, pakaiannya sederhana, lidahnya fasih melantunkan ayat-ayatNya. Tapi,
tindakan dan ucapannya menyakiti sesamanya atau orang-orang dibawahnya. Inilah
makna ber-akhlaq yang salah. Maka jangan heran jika ada tokoh agama terjerumus
skandal tahta, harta dan wanita.
Sebaliknya,
bagi Muslim sekuler-liberal-humanis, standar halal-haram, wajib-sunnah
ditinggalkan. Standar baik-buruk hanya dari kesepakatan manusia.
Akibatnya,
meniru akhlaq Nabi pun menjadi aneh kalau tidak utopis. Berjanggut seperti Nabi
kini dianggap seperti berpedang atau bersenjata. Menolak ajakan korupsi
dianggap “sok suci”. Berdemo sambil bertakbir sama dengan “ngajak” perang.
Menghukumi kesesatan dan kemaksiatan dianggap fundamentalis, teroris dan anti
HAM. Berdakwah tidak boleh menggurui dan sebagainya.
Begitulah,
karena sekularisme, liberalisme dan humanisme maka beragama menjadi tidak
mudah, apalagi ber-akhlaq. Padahal Francis Fukyama mengingatkan bahwa ketahanan
suatu bangsa tergantung pada
keberagamaan masyarakat dan etikanya.
Dengan
etika, katanya, ekonomi dan politik akan berfungsi dengan baik. Mungkin
maksudnya akhlaq. Jauh sebelum itu ulama arif bijaksana juga telah mengingatkan
“Bangsa-bangsa akan kekal jika masih ber-akhlaq. Jika hilang akhlaq-nya maka
hilang pula bangsa itu.
al-Qur’an
lebih tegas lagi jika suatu bangsa itu bertaqwa maka akan diturunkan berkah
dari langit, dan jika tidak lagi ber-akhlaq maka pasti dihancurkan oleh Allah.
Jadi
sesungguhnya bangsa ini sedang dihancurkan. Bukan oleh kekuatan militer. Tapi
oleh upaya penghancuran moral dan bahkan akhlaq pemimpinnya, anak mudanya,
anggota DPR-nya, hakim-hakimnya dan cendekiawan Muslimnya dan sebagainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar