Negara dan Agama
Oleh: Dr Hamid Fahmy Zarkasyi
Oleh: Dr Hamid Fahmy Zarkasyi
RUU Sisdiknas khususnya pasal 12 ayat 1 (a) menghadapi keberatan kaum Nasrani karena motif tertentu. Kini muncul pandangan yang mulai meragukan urgensi dan efektifitas pendidikan agama dan bahkan agama bagi peningkatan moralitas bangsa.
Diskursus mengenai urgensi pendidikan agama di negeri ini sebaiknya dihubungkan dengan ideologi formal negeri ini. Terlepas dari wacana yang berkembang, secara ideologis negeri ini telah mendasarkan dirinya pada Ketuhanan Yang Maha Esa (Sila Pertama).
Secara konstitusional negara memberi hak hidup kepada agama-agama (UUD pasal 29). Dan pada prakteknya negara ikut campur dalam urusan agama. Institusi atau departemen yang mengatur agama didirikan dan bahkan partai politik yang berdasarkan agama dibolehkan. Para pemimpin negeri ini bisa menggunakan isu agama untuk kepentingan politik.
Jika Pancasila dipahami dalam bentuk piramida terbalik, maka sila: “Ketuhanan Yang Maha Esa”, harus menjadi landasan segala sistem di negeri ini. Dan jikapun dipahami dalam bentuk struktur kerucut maka sila itu menjadi tujuan segala sistemnya.
Oleh sebab itu negara Republik Indonesia secara ideologis dan konstitusional berhak mengatur kehidupan beragama rakyatnya, termasuk pendidikan agama. Negara ini adalah negara berketuhanan dan bukan negara sekuler.
Jika negara ini telah disepakati sebagai negara berketuhanan, maka baik-buruk moralitas bangsa ini tidak lepas dari tanggungjawab pemerintah. Ini berarti bahwa sistem dan kebijaksanaan pemerintah di segala bidang harus senantiasa berdasarkan pada prinsip ketuhanan yang kondusif bagi pembinaan moralitas bangsa. Sistem pendidikan nasional adalah salah satu dari sekian sistem yang berhubungan dengan pembinaan moral bangsa.
Adanya pendidikan agama di sekolah-sekolah negeri dan swasta memiliki landasan konstitusional. Bahkan harus terus dipertahankan dan dikembangkan sehingga efektif dalam mendukung pembinaan moral (character building) bangsa ini.
Persoalannya, apakah pendidikan agama yang sekarang ini dilaksanakan telah benar-benar efektif. Jika jawabnya adalah negatif maka diperlukan clinical remedy atau rekonstruksi materi pelajaran agama. Dan disini perlu melibatkan pakar masing-masing agama untuk menentukan kualitas materi dan pakar bidang pendidikan untuk metodologi.
Seperti disinggung diatas, di negeri yang menjunjung prinsip ketuhanan ini, rasanya tidak perlu lagi mempersoalkan apakah pendidikan agama perlu diajarkan di sekolah atau tidak. Ide meniadakan pendidikan agama dengan alasan masih adanya dekadensi moral di masyarakat, rasanya terlalu simplistik. Sama halnya dengan logika Gulliver Traveller, “Jika sepatu anda kotor anda tidak perlu membersihkan karena nanti akan kotor lagi”. Juga jika ekonomi negara ini mundur maka pelajaran dan fakultas ekonomi sebaiknya dibubarkan.
Kebobrokan moral bangsa saat ini tidak dapat dinilai dari variable agama saja. Bahkan variable-variable dalam agama seperti jumlah pelaksana haji, jumlah masjid dan gereja, atau simbol-simbol ritual lainnya tidaklah cukup. Variable lain-lain seperti kebijakan politik pemerintah, rekrutmen pegawai, pembangunan suprastruktur dan infrastruktur dan lain sebagainya, selama ini tidak meletakkan peran agama secara proporsional.
Korelasi bahwa “Semakin banyak jumlah penduduk yang naik haji semakin baiklah moralitas bangsa” adalah korelasi yang tidak signifikan. Haji sendiri bukan ukuran keimanan dan moralitas seseorang.
Selain itu perlu dipertanyakan pula apakah populasi pelaksanakan haji atau pengunjung gereja dan populasi yang melakukan tindakan amoral itu sama. Apakah para koruptor itu adalah orang yang benar-benar taat beragama.
Korupsi, manipulasi, kolusi dan tindakan amoral lainnya, sejatinya adalah produk dari sistem yang tidak adil. Kotornya sungai Ciliwung bukan karena salah ulama atau pelajaran agama di sekolah, tapi karena bobroknya sistem sanitasi yang dibangun pemerintah yang korup. Perampokan, pembunuhan, penipuan dan lain-lain adalah buah dari ketidakadilan sosial dan ekonomi.
Sekarang marilah kita lihat negara Amerika atau negara Barat lainya. Ekonomi mereka maju, kehidupan publiknya nyaman, sistem sosialnya nampak rapi. Kesadaran masyarakat terhadap peraturan publik tinggi.
Tapi, perlu diingat bahwa disana agama ditinggalkan, gereja-gereja kosong. Agama dilindungi secara hukum tapi agama tidak boleh bersifat publik. Perayaan natal meriah, hari raya idul adha tidak boleh di lapangan, azan tidak boleh pakai mikrofon.
Pelajaran agama tidak saja absen di sekolah, tapi murid-murid khususnya Muslim tidak mudah melaksanakan shalat 5 waktu di sekolah. Kegiatan seks di kalangan anak sekolah bebas, asal tidak melanggar moral publik. Narkoba juga bebas asal untuk diri sendiri. Jadi dalam kehidupan publik kita tidak boleh melihat wajah agama.
Apa yang disebut prinsip moral, sejatinya tidak jelas, ia berbeda dan malah bertentangan dengan arti akhlak dalam Islam. Agama direduksi menjadi convensi publik, tuhan telah lama mati. Seorang Muslimah yang menikah umur 17 tahun dan hamil, misalnya melanggar hukum, tapi seorang gadis Amerika yang hamil di luar nikah tidak salah. Dimanakah letak kebebasan beragamanya?
Di negara yang berketuhanan ini, agama perlu masuk kedalam urusan publik. Bahkan pemerintah perlu memasukkan kedalam setiap sistem secara jelas. Prinsip keadilan harus ditegakkan, “Segala sesuatu diletakkan sesuai dengan tempat dan proporsinya.” Pendidikan agama di sekolah ditingkatkan dan kalau perlu ditambah.
Dalam konteks RUU Sisdiknas, khususnya pasal 13 ayat 1 yang memberi hak setiap siswa untuk memperoleh pendidikan dan guru agama sesuai dengan agama masing-masing, sudah cukup adil.
Jika hak warga negara memperoleh pendidikan agama dicabut, itu jelas tidak adil. Lebih tidak adil lagi jika semua siswa diwajibkan belajar semua agama, sebab seorang murid Muslim akan menerima sesuatu yang tidak diperlukannya, demikian pula murid Kristen, Hindu dan sebagainya.
Adil artinya meletakkan sesuatu pada tempatnya atau sesuai proporsinya. Dan ini bukan perkara mudah, sehingga yang berhasil dapat dicap paling dekat dengan ketakwaan (aqrabu li al-taqwa).