Psikologi di Mata Kristi
Poerwandari
Maria Hartiningsih dan Ninuk
Mardiana Pambudy ;
Wartawan Kompas
KOMPAS, 04 Agustus 2013
Selama
17 tahun Dr E Kristi Poerwandari menekuni kerja kemanusiaan di antara tugas
meneliti dan mengajarnya. Semangatnya terus dirawat agar api panggilannya terus
menyala. Intervensi trauma dan penguatan psikososial, terutama untuk isu
kekerasan, adalah jalan sunyi. Berat dan panjang.
”Yang
bergerak dalam isu itu sangat sedikit,” ujar Kristi, di kantornya, siang, Juli
2013, ”Dana layanan psikologi secara umum makin sulit, apalagi untuk isu
perempuan. Di Yayasan Pulih sudah dua tahun kami swadaya. Ada satu-dua
filantropi, tetapi terbatas.”
Pada
awal Juli lalu, International Council of Psychologist (ICP) memilih Kristi,
salah satu pendiri Yayasan Pulih dan Ketua Program Studi Kajian Gender Program
Pascasarjana (Interdisiplin) Universitas Indonesia itu, sebagai penerima
penghargaan Bidang Riset dan Layanan Feminis tahun 2013.
”Mudah-mudahan
penghargaan ini bisa menjadi motivator bagi teman-teman yang bergerak dalam isu
perempuan dan psikologi,” ujarnya.
Hari
itu tepat hari ulang tahun Kristi ke-50, atau sehari sebelum penghargaan itu
diserahkan oleh Presiden ICP Ludwig Lowenstein, dalam konferensi ICP ke-71
tanggal 4-6 Juli 2013 di Jakarta. Tema tahun ini adalah ”Moving Towards
Peaceful Intergroup Relationship and Reducing Stigma and Discrimination: A
Worldview”.
Tantangan
Bagi
Kristi, penghargaan hanyalah penanda dalam satu bagian dari perjalanannya.
Namun, betapapun, momen itu berharga dalam situasi yang penuh tantangan.
Mengapa
aspek psikologi belum mendapat perhatian?
Teori
psikologi tidak membahas persoalan psikologi masyarakat miskin. Sudut
pandangnya sangat kelas menengah. Psikolognya juga cenderung berpikir dalam
kerangka kelas menengah. Menurutku, psikologi tidak banyak melakukan kritik
terhadap diri sendiri. Penelitian di Barat kan menggunakan responden laki-laki,
kelas menengah, dan kulit putih. Persoalan perempuan dengan kekerasan tak
terlalu dibahas, juga psikologi masyarakat miskin.
Di
Indonesia, psikologi sama dengan kedokteran jiwa, tidak dilihat penting dalam
meningkatkan kualitas hidup. Jadi tidak diprioritaskan. Dalam piramida
kesehatan mental, menurut penelitian di Barat, hanya 3 persen masyarakat butuh
layanan psikologi klinis dan psikiatri. Psikologi cenderung dilihat hanya untuk
itu. Saat ada masalah konflik atau bencana diperlukan penguatan yang bersifat
massal. Namun, psikologi kurang siap karena psikolog seperti menunggu. Harusnya
proaktif, kerja sama lintas bidang dengan semua pihak. Kami menyebut sebagai
penguatan psikologi berbasis komunitas, seperti yang dikerjakan Pulih. Selama
ini psikologi terlalu berbasis individu dan persoalan keluarga.
Bukankah
semua persoalan di masyarakat terkait psikologi?
Betul.
Di Psikologi ada perdebatan sangat serius. Yang berpikir konvensional
menganggap psikologi seperti ilmu yang sangat matematis. Di S-1 Psikologi UI,
sulit bagi mahasiswa membuat skripsi kualitatif. Ada pandangan, yang kualitatif
bukan ilmu. Sementara buatku, psikologi itu afektif, subyektifnya besar,
sehingga wajib menjadi penelitian kualitatif. Bagaimana empati bisa dibangun
tanpa metode kualitatif? Psikologi yang bermanfaat bagi masyarakat adalah yang
bisa melihat dinamika intersubyektivitas pemahaman manusia. Bahwa ada gabungan
kualitatif-kuantitatif, itu bukan persoalan.
Paradigma
berbeda
Sebagai
pekerja ilmu yang menerapkan Tri Dharma Perguruan Tinggi, yakni pendidikan,
penelitian, dan pengabdian pada masyarakat secara bersungguh- sungguh, Kristi
menghadapi arus besar di bidang pemikiran dan metodologi.
Ia
tampaknya mewakili paradigma yang berbeda. Namun, dalam diskursus internasional
juga semakin banyak ilmuwan menggoyang dominasi metodologi ataupun teori-teori
psikologi arus utama, khususnya oleh kalangan feminis-teoris.
Psikologi
memperlakukan secara umum teori yang dibangun dari hasil penelitian yang bias
laki-laki, bias kelas, dan bias Barat. Penelitian Jeanne Block (1976) dari
Universitas California di Berkeley juga menemukan bias jender dalam penelitian
para psikolog mengenai agresivitas. Penemu teori-teori psikoanalisa, Sigmund
Freud (1856-1939), hanya menggunakan perempuan penderita gangguan mental
sebagai responden.
”Arus
utama psikologi meyakini teori yang bersifat umum dan jurnal-jurnal ilmiah,
dengan pendekatan penelitian yang cenderung positivistik. Sangat reduktif
karena cenderung memecah gejala dalam elemen-elemen,” ujarnya.
”Pengetahuan
dari jurnal ilmiah penting, tetapi bukan segalanya. Kepedulian dan pengetahuan
dari lapangan sangat penting. Harusnya keduanya digabung, dimaknai dalam
keseluruhan konteksnya. Kalaupun meneliti secara meluas, harus dipahami ini
bukan fenomena pasar.”
Bisa
lebih dijelaskan?
Kami
sedang melakukan penelitian tentang sexual offending (penyerangan seksual) dan
hal-hal terkait kekerasan seksual. Aku ingin belajar lebih banyak mengenai
pelakunya. Bagaimana mungkin penelitian terhadap serangan terhadap seksualitas
dilakukan secara kuantitatif? Namun, jurnal-jurnal luar semua meneliti secara
kuantitatif. Datanya banyak, mereka sangat baik secara statistik.
Mereka
punya kerja sama dengan semua correctional facilities atau lembaga
pemasyarakatan dan meneliti 600 residivis. Fokusnya sangat sempit, misalnya
apakah pelaku akan mengulang kembali tindak pidananya (residivisme). Peneliti
menggunakan skala apa untuk mengecek sejauh mana skala itu meramalkan
residivisme.
Karena
bekerja untuk isu intervensi, aku ingin mendapatkan pemahaman lebih utuh
tentang perilaku pelaku. Dalam logika psikologi, empati terhadap korban sangat
penting. Kita harus membangun empati dari para pelaku kekerasan seksual
terhadap korban agar dia tidak mengulangi tindakannya.
Penelitian
kuantitatif menganggap empati tidak berhubungan langsung dengan residivisme.
Lalu selesai, seolah-olah empati tidak penting. Simplistik, tetapi arus
besarnya seperti itu. Kami ingin fokus pada hal-hal yang sangat kualitatif.
Tuntutannya kan masuk jurnal internasional. Kami mau mencoba dengan metode
campuran, kualitatif dan kuantitatif.”
Pengetahuan
otentik
Meski
pengambil keputusan di universitas bersikukuh dengan pendekatan kuantitatif,
masyarakat psikologi bisa menerima metode kualitatif. ”Setelah bukuku tentang
metode kualitatif terbit tahun 2007, aku sering diminta memberikan pelatihan
kepada para dosen,” ungkapnya
Sebagai
promotor program doktoral, apakah metode Anda tidak berbenturan dengan promotor
lain?
Saya
teringat pendekatan yang digunakan almarhum Pak Fuad Hasan. Beliau menggunakan
pendekatan kualitatif dan menekankan pentingnya filsafat dasar keilmuan bagi
mahasiswa. Metodologi penelitian adalah hal teknis. Jurnal ilmiah tetap
penting, tetapi mahasiswa atau peneliti perlu dibantu melihat paradigma besar
agar jurnal-jurnal itu tidak membunuh wawasan kita. Teknik bisa belakangan.
Sekarang, jurnal- jurnal itu dipaksakan masuk ke dalam kerangka wawasan
mahasiswa.
Lalu,
apa tantangan memimpin Program Studi Kajian Gender?
Selain
uang kuliahnya mahal, keilmuan lintas bidang tidak dilihat setara
keilmiahannya. Program Kajian Gender belum masuk dalam kodifikasi program studi
di bawah Pendidikan Tinggi Kemdikbud. Jadi ada beberapa mahasiswa kita setelah
lulus, mengambil lagi S-2 dari bidang ilmu S-1-nya supaya bisa diakui sebagai
angka kredit untuk kepangkatan. Untuk jadi profesor, ada syarat linieritas. Ini
yang membuat rendahnya minat pada program studi ini.
Bagaimana
Anda melihat dunia penelitian di Indonesia?
Sangat
buruk kalau suatu bangsa tidak menghargai penelitian, apalagi tak ada upaya
membangun pengetahuan secara otentik. Terjadi banyak pembohongan dan
pembodohan. Jadi bukan hanya korupsi intelektual, tetapi juga pengikisan etika
dan hati nurani. Kita bisa mengarah ke situ.
Tak
mudah menjadi peneliti di Indonesia, tetapi setiap manusia punya tanggung jawab
dan pilihan. Pasti akan ketemu jalannya....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar