Hikmah
Oleh:
Dr Hamid Fahmy Zarkasyi
Sila
keempat dari Pancasila berbunyi: “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”. Hikmat ini tentu bukan
personal, bukan Presiden atau kedua DPR atau MPR.
Hikmat
adalah suatu kondisi kejiwaan dan dalam sila ini dikaitkan dengan sikap dalam
bermusyawarah dan menentukan kebijakan. Artinya sistem permusyawaratan dan
perwakilan dalam bernegara di Indonesia ini mestinya dipimpin oleh moralitas
yang tinggi.
Dalam
bahasa umum hikmah dipahami sebagai kebijaksanaan atau bijaksana. Dalam
al-Qur’an terdapat perintah untuk berdakwah dengan bijaksana (bi al-hikmah).
Maka orang yang memutuskan perkara demi menegakkan keadilan disebut hakim.
Hikmah
juga berkaitan dengan berpikir yang logis dan mendalam. Karena itu Ibn Rusyd
menerjemahkan “hikmah” dengan filsafat dan hakim dengan filosof. Lalu apa
sebenarnya makna “hikmah” itu?
Istilah
itu asli dari al-Qur’an dan disebut sebanyak 20 kali. Namun para ulama
mengembangkannya menjadi berbagai makna. Ada hikmah ilahiyah, hikmah
khuluqiyah, hikmah tabi’iyyah, hikmah amaliyyah dan sebagainya. Namun dalam
konteks kehidupan individu dalam berbangsa pendapat para filosof dan sufi
menarik dicermati.
Menurut
al-Ghazzali hikmah adalah salah satu dari unsur akhlaq mulia selain keberanian,
kejujuran dan keadilan. Maka berakhlaq mulia dalam Islam itu bukan sekedar
berperilaku baik, tapi juga berilmu tentang kebaikan, bersikap berani
menyatakan kebenaran, berlaku adil terhadap segala sesuatu alias tidak zalim.
Agar
memiliki hikmah, keberanian, kejujuran dan keadilan diperlukan ilmu. Sebab
berani dan adil tanpa ilmu bisa salah jalan alias sesat. Orang berilmu yang
tidak jujur, ilmunya tidak manfaat. Demikian pula kekuatan dan manfaat ilmu
dapat dilihat ketika seseorang itu dapat membedakan antara kejujuran dan
kebohongan, antara haq dan batil, antara baik dan buruk.
Jadi
hikmah menurut al-Ghazzali adalah keadaan kejiwaan seseorang yang dapat
mengetahui yang baik dari yang buruk benar dalam segala perbuatan. (Ihya, III,
hal. 54). Ibn Arabi dalam Futuhat juga berpendapat sama.
Lisan
al-Din al-Khatib, ulama abad ke 14, dalam kitab Raudat al-Ta’rif memahami
hikmah seperti keadilan, yaitu meletakkan sesuatu pada tempatnya. Syaratnya,
harus memahami letak-letak segala sesuatu.
Tapi
meletakkan sesuatu pada tempat bukanlah kerja mudah. Menurut Naqsyabandi, dalam
kitab Jami al-Usul, hikmah itu adalah ilmu tentang segala sesuatu,
sifat-sifatnya, kekhususannya, hukum-hukumnya, hubungan sebab-akibat dan
mengamalkan sesuai yang dibutuhkan.
Ikhwanussafa
menjelaskan orang yang memiliki hikmah atau “al-hakim” adalah yang perbuatannya
dapat dipertanggungjawabkan; kerjanya tekun, perkataannya benar, moralnya baik,
pendapatnya betul, amalnya bersih dan ilmunya benar, yaitu ilmu tentang segala
sesuatu.
al-Ghazzali
menambahkan al-hakim adalah orang yang jiwanya memiliki kekuatan mengontrol
dirinya sendiri (tamakkun) dalam soal keimanan, akhlak dan dalam berbicara.
Jika kekuatan ini terbentuk maka akan diperoleh buah dari hikmah, sebab hikmah
itu adalah inti dari akhlak mulia.
Maka
“Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan” menggambarkan nilai sebuah
sistem yang dikusai oleh semangat hikmat. Artinya sistem kenegaraan Indonesia
harus berada di tangan orang-orang yang “hakim”. Yaitu orang yang berilmu
hikmah, yang pasti tahu kebenaran yang berkata benar; yang tahu dan berani
memutuskan yang salah itu salah dan yang benar itu benar; yang tahu meletakkan
segala sesuatu pada tempatnya; tidak akan pernah meletakkan kepentingan dirinya
diatas kepentingan rakyat atau umat, tidak meletakkan perbuatan dosa atau
maksiat dalam dirinya yang fitri dan seterusnya.
Walhasil,
jika sistem permusyawaratan di negeri ini dikontrol oleh akal pikiran dan jiwa
yang demikian itu maka tidak akan ada kebijakan yang salah di negeri ini. Tidak
akan ada korupsi di pemerintahan dan tidak akan ada kebohongan publik.
Negeri
ini pasti akan menjadi makmur dan sejahtera karena semua berjalan diatas
jiwa-jiwa yang penuh hikmah alias hakim. Sebab al-Qur’an sendiri menjamin
“Barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia
yang banyak....” (QS. 2 : 269).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar