Metodologi
Studi Islam
Metodologi
pengkajian Islam adalah pendekatan (approach) atau kerangka kerja (framework)
dalam memahami atau mengkaji Islam. Metodologi pengkajian bukan hanya metode
pengajaran (tariqat al-tadris atau tariqat al-ta’lim) atau cara penyampaian
suatu materi atau subyek agar dapat dipahami murid atau mahasiswa. Metodologi
lebih tepat dipahami sebagai manhaj al-fikri atau manhaj al-dirasah yang
tercermin di dalam struktur silabus dan kandungan masing-masing mata kuliah.
Pada
sekitar separoh kedua abad 20 metodologi pengkajian Islam mengalami pergeseran
yang cukup penting. Hal ini disebabkan oleh suatu kenyataan bahwa Islam dikaji
oleh Muslim dan juga oleh non-Muslim.
Kajian
yang dilakukan oleh non-Muslim, khususnya oleh orientalis, sedikit banyak
dipengaruhi secara sosiologis oleh cara pandang dan pengalaman manusia Barat
dan secara saintifik oleh perkembangan metodologi penelitian atau penyelidikan
dalam ilmu-ilmu sosial di Barat.
Metodologi
orientalis ini secara perlahan-lahan mempengaruhi metodologi pengkajian Islam
di perguruan tinggi. Hal ini karena timbulnya kecenderungan di kalangan
cendekiawan Muslim belajar kepada orientalis di Barat atau membanjirnya buku
orientalis sebagai alternatif bacaan cendekiawan Muslim. Dalam situasi seperti
ini pengkajian Islam dengan pendekatan tradisional telah tercampur, kalau tidak
disaingi, oleh pendekatan orientalis.
Tapi
yang pasti kajian orientalis itu berbeda dengan kajian para ulama dalam tradisi
intelektual Islam. Kajian orientalis tidak berdasarkan keimanan (faith-based)
sehingga tidak selalu dapat bersikap adil.
Artinya
ketika mengkaji Islam mereka tidak dapat memahami dan meletakkan suatu konsep
dalam tradisi intelektual Islam sebagai bagian dari struktur konsep yang
tercermin dalam pandangan hidup Islam. Konsep ilmu yang dalam Islam berdimensi
iman dan amal, misalnya, dipahami hanya sebagai ilmu dan diperoleh hanya dengan
rasio.
Karena
kehilangan dimensi iman maka ilmu tidak lagi berguna dan berkaitan dengan
taqarrub kepada Allah. Karena konsep ilmu tidak diletakkan sebagai bagian dari
struktur konseptual Islam, maka ilmu tidak lagi berhubungan dengan amal.
Demikianlah,
kerancuan-kerancuan itu begitu banyak dan saling berkaitan. sehingga
pembuktiannya memerlukan kajian konseptual yang panjang. Bagi yang tidak
membaca secara kritis, kajian orientalis akan nampak rasional dan obyektif
serta sejalan dengan tuntutan keilmuan kontemporer, tapi secara konseptual
mengandung kerancuan-kerancuan.
Oleh
sebab itu sedalam apapun ilmu yang dituntut dengan pendekatan ini tidak akan
mencapai keimanan dan tidak mempengaruhi kualitas pengalaman keagamaan
seseorang. Apalagi, cara pandang orientalis itu sendiri sudah tentu diwarnai
oleh bias-bias kultural, politik (Lihat Edward Said, Orientalism, Vintage, New
York, 1979, 1-3,5) tradisi dan kepercayaan (lihat Asaf Hussain et al, Orientalism, Islam, and Islamists, Vermont,
Amana Books, 1984, hlm. 15) yang merupakan pandangan hidup (worldview) mereka.
Dengan
pandangan hidup Barat yang terkenal dengan doktrin dualisme, dikotomis dan
sekulerisme itu maka pandangan orientalis terhadap Islam bersifat parsial.
Kajian-kajian dalam bidang Syari’at tidak berkaitan dengan Akidah, kajian
akidah tidak dikaitkan dengan akhlaq.
Demikian
pula kajian filsafat, politik, ekonomi, kebudayaan dan sebagainya terlepas dari
kajian terhadap konsep-konsep seminal dalam al-Qur’an. Demikian pula kajian
al-Qur’an tidak berdasarkan pada ilmu metodologi tafsir, tapi justru
menggunakan metodologi Bibel.
Akhirnya,
wajah pengkajian Islam berubah menjadi dua atau dalam perspektif yang serba
dualistis: normatif atau historis, tekstual atau kontekstual, literal atau
liberal dan sebagainya. Hal ini tercermin dari pernyataan Charles J. Adams
dibawah ini:
…in
contrast to the strong, indeed almost exlusive, textual and philological
orientation of traditional Islamic studies, we have in this volume papers that
deal, for example, with such subjects as Islamic worship, popular religious
practice and the many-faceted significance of Qur’anic recitation in the daily
lives of pious Muslim. The emphasis falls upon an exposition of Islam as it is
experienced and lived by members of community.
Although
the ideal forms of a normative Islam are not lost to sight, the recognition is
brought to bear that the reality of religion has its locus in the experience of
the devotee and that scholars must, above all else, subject themselves to that
experience. (Richard C. Martin (ed), Approach To Islam In Religious Studies,
Oneworld, Oxford, 2001, viii-ix
Kutipan
diatas menunjukkan suatu asumsi akan adanya jenis-jenis pendekatan terhadap
Islam. Pendekatan bersifat tekstual dan ekslusif (traditional Islamic studies),
pendekatan sosiologis (Islam as it is experienced and lived) dan pendekatan
Islam normatif (ideal form of a normative Islam).
Pendekatan
seperti itu sah-sah saja asalkan merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan.
Masalahnya, dengan pendekatan seperti itu akan muncul Islam yang diamalkan dan
Islam yang diajarkan, atau dengan kata lain Islam akan terbagi-bagi menjadi
Islam historis dan Islam normatif, Islam sebagai agama dan Islam sebagai
pemikiran keagamaan, yang pertama absolut yang kedua relatif.
Akibat
pendekatan seperti ini maka teks (nass) dengan konteks sosial yang selalu
berubah dipertentangkan. Karena pendekatan sosial lebih menonjol maka teks
(nass) al-Qur’an pun tidak lagi dibaca secara filologis, tapi dengan metodologi
hermeneutika. Metode ini menjanjikan interpretasi-interpretasi sosiologis,
politis, psikologis, ontologis dan historis
dan sebagainya.
Dengan
pendekatan ini otomatis makna-makna teks dalam tradisi intelektual Islam
menjadi bermasalah. Pendekatan seperti ini menjadi semakin populer di kalangan
cendekiawan Muslim akhir-akhir ini, khususnya ketika doktrin-doktrin
postmodernisme seperti relativisme, pluralisme dan anti otoritas dianggap
sebagai sesuatu yang tidak “haram” diterapkan dalam pengkajian Islam.
Meski
pendekatan ini pada prakteknya cenderung dekonstruktif terhadap metodologi
tradisional beberapa cendekiawan Muslim yang pro-Barat malah menganggapnya
sebagai pemikiran alternatif, pemikiran baru atau pembaharuan pemikiran Islam
(tajdid).
Sekedar
contoh marilah kita lihat bagaimana perjalanan pemahaman orientalis
mempengaruhi pemikir Muslim. Para orientalis dari generasi ke generasi
menyatakan bahwa al-Qur’an adalah karangan Muhammad.
Hal
ini dapat dibaca dari pernyataan G.Sale, [Dalam bukunya The Quran: Commonly
called al-Qur’an:Preliminary Discoursei, (1734)], Sir William Muir [Dalam bukunya
Life of Mahomet (1860)], A.N. Wollaston [Dalam bukunya The Religion of The
Koran (1905)], H. Lammens, [Dalam Islam
Belief and Institution (1926)], Champion & Short [Dalam bukunya Reading
from World Religious Fawcett, (1959),] JB. Glubb, [Dalam bukunya The Life and
Time of Muhammad (1970)] dan M. Rodinson [Dalam bukunya Islam and Capitalism
(1977)]. Dan tidak ketinggalan pula Montgomery Watt dalam Muhammad: Prophet and
Statesman menyatakan bahwa al-Qur’an adalah produk dari imajinasi kreatif Nabi
Muhammad (product of creative imagination). (Asaf Hussain, “The Ideology of
Orientalism” hlm. 15).
Pemahaman
orientalis diatas diterjemahkan oleh Muhammad Arkoun menjadi begini: al-Qur’an
adalah wahyu Tuhan tapi ia diucapkan oleh Muhammad dan dengan bahasa Muhammad
sebagai manusia biasa.
Senada
dengan itu seorang cendekiawan Muslim liberal dari Mesir bernama Nasr Hamid Abu
Zayd menyatakan bahwa karena al-Qur’an turun dalam ruang sejarah Arab maka ia
adalah produk budaya Arab (muntaj thaqafi).
Implikasi
ide ini adalah bahwa al-Qur’an bukan firman Allah yang suci dan perlu disucikan
dan disakralkan dan karena itu umat Islam tidak terlalu fanatik berpegang pada
al-Qur’an; dan agar umat Islam mau menafsirkan al-Qur’an tanpa takut-takut,
karena ia hanya perkataan manusia biasa.
Jadi
dengan hanya sebuah pengandaian atau asumsi (assumption) bahwa al-Qur’an tidak
diturunkan secara lafdhan tapi secara ma’nan, maka metodologi dan framework
pengkajiannya bisa berubah sama sekali dan bisa bertentangan dengan metodologi
tradisional.
Kesimpulannya
akan berakibat pada sikap dan perlakuan kita terhadap teks (nass) dan boleh
jadi mengakibatkan desakralisasi teks dan bahkan dekonstruksi makna teks.
Metodologi seperti ini tentu bukan pengembangan yang merujuk kepada tradisi intelektual
dalam Islam, tapi lebih merupakan perubahan atau penggantian framework yang
belum tentu bebas dari kerancuan.
Maka
dari itu perlu upaya-upaya yang mempertahankan dan juga mengembangkan dan bukan
merubah metodologi tradisional seperti yang digambarkan diatas. Dan tuduhan
bahwa para ulama dahulu yang dituduh melulu menggunakan pendekatan tekstual
eksklusif dan tidak kontekstual serta statis perlu dipertanyakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar